Kenapa bisa seperti itu ? tak lain adalah karena apa yang harus dikerjakannya kali ini adalah pekerjaan harian yang menumpuk setelah Thomas tidak berangkat dua hari terakhir karena sakit.
Jam sudah menunjukkan jam 8 malam. Badannya yang bulat sudah mulai kelihatan layu dan kisut. matanya yang saat itu dibantu dengan kacamata segede kuda mulai merona merah. Lelah.
Dia beringsut bergerak meninggalkan mejanya sambil menatap ruangan kosong di sekelilingnya yang sudah sepi. Dia sendiri kali ini. Diluar ruangan, sesekali terdengar makian dari seseorang di ruang sebelah dan suara game sepak bola yang riuh rendah.
Disudut mejanya ada setumpuk berkas dengan tanda silang berwarna merah yang nampak mencolok. Sisa sisa sebuah kejadian beberapa jam yang lalu.....
10 jam sebelumnya......
" Apa ini mas ?" tanya seorang laki-laki paruh baya berkacamata dengan ukuran yang tidak biasa. Wajahnya masam dengan kesan keangkuhan khas seorang pejabat.
" Anu pak, ini draft penerimaan lemburan untuk kegiatan yang kemarin." jawab Thomas
" Ini sudah bener ? tidak ada perbaikan lagi ? "
" Insyaalloh sudah pak. sudah saya sesuaikan dengan standar honor yang berlaku saat ini"
" Wah begini mas, anda meremehkan saya"
" maaf pak ? meremehkan yang bagaimana ?"
" Lha ini.....apa maksudnya ini ? sebagai penanggungjawab masa honor saya lebih sedikit dari pelaksana ?"
" Mohon maaf pak, itu sudah saya sesuaikan dengan peraturan pemerintah juga pak sebagai standar pemberian honor "
" Wah peraturan macam apa itu? tidak bisa. Peraturannya salah itu "
" Emmm anu pak, yang menandatangani draftnya dulu kan bapak juga "
" Wah saya belum pernah merasa menandatangani peraturan macam itu.....sudah direvisi lagi saja mas. Saya tidak bisa menyetujui ini "
Jawaban terakhir yang dibarengi dengan pembubuhan tanda silang super besar dengan spidol merah menyala.
" Busyet....." umpat Thomas spontan tanpa suara.
Dia merasa bahwa mulai muncul ketidak adilan didepan matanya. Salah satu tujuan dibuatnya draft honor dengan sistem bertingkat seperti piramida (semakin ke atas semakin kecil) adalah agar teman-temannya di bagian pelaksana mendapatkan "imbalan" yang sesuai dengan tetesan keringatnya yang keluar dalam proses penyusunan laporan kegiatan. namun ternyata takdir sudah berkata lain.
![]() |
Sekedar ilustrasi yang memang terjadi dimana-mana |
Sambil menyalakan sebatang rokok dia menghembuskan nafas dalam dalam, suaranya terasa berat dengan tatapan kosong di kedua matanya yang sudah tidak lagi tajam.
Dia sungguh menyadari, menjadi seorang buruh negeri adalah sebuah tantangan besar bagi mereka yang ingin hidupnya kaya, merdeka dan terencana. Sebab seorang buruh negeri akan selalu mendapatkan tekanan yang luar biasa besar di batin, pikiran dan bahkan mental dari berbagai pihak yang tentu saja akan berdampak langsung terhadap "keselamatan" si buruh negeri itu sendiri.
Selain itu, seorang buruh negeri harus siap lapang dada andai saja terjadi ketidak adilan karena adanya gap jabatan antar personal.....jyan !
Pemerintah pusat yang katanya sudah memberikan "remunerasi" bagi buruh negeri di tingkat bawah pun nyatanya baru sebatas pemerintah provinsi saja. Sama sekali belum menyentuh tingkat kabupaten. Padahal kalau dirunut kebelakang, semakin bawah tingkatannya pekerjaan pasti akan semakin banyak.
Nah sudah sampai disini dimana keadilan sesungguhnya bagi para buruh negeri tingkat rendahan ?
Dan malam ini Thomas seakan berada dalam kebimbangan. Dia sebenarnya tinggal menekan sebuah tombol saja untuk mencetak draft penerimaan yang sudah direvisi. Tapi otak dan hatinya seolah melarangnya untuk menekan tombol itu. Enter.
Disitu tertera daftar angka yang kalau digambarkan sebagai piramida adalah piramida terbalik. Dimana semakin keatas maka jumlahnya akan semakin besar dan semakin tidak "masuk akal" sesuai dengan keringat yang telah dikeluarkan.
Satu hal yang pasti, dia menyadari bahwa adalah sebuah kewajaran bilamana sering dijumpai di media massa bahwa buruh negeri hobi korupsi, suka menyelewengkan uang negara, dan lain sebagainya yang sejenis. Sebab memang begitulah nasib sesungguhnya para buruh negeri kelas bawah. Selalu dibawah dan akan tetap menjadi golongan masyarakat kelas menengah ke bawah tanpa ada harapan punya mobil mewah dan rumah yang megah.....tanpa bisa terbantah
" hoi..."
sebuah suara mengagetkannya. Sesosok tinggi besar muncul di pintu yang sedikit terbuka. Senyuman ramah mengembang di bibirnya.
" weh, mas Arif.... PS annya udah selesai ?" jawab Thomas sedikit terkejut.
" bosen mas, menang terus hehehe.... lembur ?"
" nggak juga sih mas, cuman nyelesaikan kerjaan harian."
" hebat... memang anda patut jadi contoh teladan disini " ucap Arif, penjaga malam merangkap tukang kebun merangkap OB merangkap sopir dadakan andalan kantor dengan gaji separo gaji buruh negeri karena statusnya yang masih BTT alias Buruh Tidak Tetap.
" waduh, nggak lah mas, ini juga terpaksa hehehe....udah makan ?" sahut Thomas sekenanya
" belum je mas, sudah tanggal segini. tanggal yang tepat untuk belajar ngirit hehe...maklum lah mas babu kaya saya mana cukup gajian sebulan kalo sambil nyekolahkan 3 anak. Tapi ya alhamdulillah saya dan keluarga bisa mengakalinya sehingga apa yang kami dapat bisa untuk menyambung hidup setiap hari dan masih bernasib lebih baik dari temen-temen saya yang masih menggelandang di jalanan...." jawab Arif
Deg.... seketika Thomas merasakan sebuah pukulan maha dahsyat yang menohok sangat keras di hati, jantung dan kepalanya. Di dalam hatinya seketika muncul beragam protes dan umpatan terhadap keadaan di negeri ini. Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, rakyatnya makmur dan merdeka, negeri yang katanya wajib dibanggakan, dan beragam jargon lain yang kesemuanya adalah omong kosong.
" Makan aja yuk mas Arif, ngopi dulu sambil istirahat...... aku yang traktir "