Sejumlah citra foto dan videonya telah dipublikasikan semenjak awal. Sementara pencitraan kedua dilaksanakan oleh tim respon cepat bencana LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) pada saat yang hampir sama. Memanfaatkan satelit penginderaan jauh Pleiades milik badan antariksa Perancis yang melintas jauh di atas lokasi bencana pada 16 Desember 2014 TU, tim LAPAN mencitra dan mengolah datanya dalam kanal cahaya tampak (visual) untuk kemudian memublikasikan hasilnya per 19 Desember 2014 TU. Hasil kerja dua tim yang berbeda tersebut saling melengkapi sehingga memberikan perspektif baru dalam upaya kita memahami bencana tanah longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014 ini.

Gambar
1. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dan Gunung
Telagalele pasca bencana longsor dahsyat 12 Desember 2014. Dibuat dalam
peta Google Earth yang dilapisi (overlay) citra satelit Pleiades dalam
kanal cahaya tampak. Nampak lereng utara Gunung Telagalele yang longsor,
dengan mahkota longsor di elevasi 1.060 meter dpl. Nampak pula lembah
miring dimana dusun Jemblung semula berada, dengan ujung timur lembah 30
meter lebih tinggi dari ujung baratnya. Sumber: Sudibyo, 2014 berbasis
Google Earth dan LAPAN, 2014.
Citra aerial dan citra satelit tersebut menyajikan batas-batas longsor dan beberapa perspektif tiga dimensi sektor longsor tertentu. Tatkala batas-batas tersebut dimasukkan ke dalam program pemetaan seperti Google Earth, diperoleh bahwa longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014 mencakup area seluas hampir 18 hektar. Dari area seluas itu sekitar 2,2 % di antaranya, yakni hampir 4.000 meter persegi, merupakan bagian yang tak terjamah aliran maupun timbunan tanah dalam bencana ini, yang mencakup sebuah rumah berdinding putih dan kebun jagung.
Dua Luncuran
Selamatnya rumah dan kebun jagung ini dari terjangan tanah longsor telah mengundang decak kagum. Banyak yang menyebutnya sebuah keajaiban. Cerita-cerita yang tersebar luas tak berkeruncingan di media sosial menuturkan rumah itu adalah milik kiai kampung yang rajin berdakwah kepada penduduk sekitar. Namun penelusuran lebih lanjut menunjukkan pemilik rumah tersebut adalah seorang petani yang tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucunya. Meski rumah tersebut selamat dari terjangan tanah, namun tidak demikian dengan penguninya. Hanya sang menantu yang sedang hamil 9 bulan dan satu keponakannya yang luput dari maut meski sempat tertimbun tanah setebal 1 meter. Sementara petani, istri, anak dan seorang cucunya lagi menjadi korban bencana dahsyat ini.

Gambar
2. Citra satelit Pleiades lokasi bencana longsor dahsyat Jemblung
(Sampang) 2014 beserta lokasi luncuran tanah utama yang berskala besar
dan dua luncuran tanah berskala kecil yang menduluinya. Sumber: LAPAN,
2014.
Google Earth memperlihatkan dusun Jemblung secara topografis terletak di sebuah lembah berarah barat-timur yang dipagari dua buah gunung (bukit), masing-masing di sisi selatan dan utaranya. Bukit di sisi selatan dikenal sebagai Gunung Telagalele. Lembah ini tidak rata melainkan berhias sejumlah gundukan. Di sela-selanya mengalir sungai Petir, sebuah sungai kecil yang bermuara ke sungai Merawu. Sungai Merawu sendiri merupakan salah satu anak sungai utama dari sungai Serayu yang besar. Sehingga sungai Petir dan seluruh dusun Jemblung pada dasarnya merupakan bagian dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Serayu.
Lembah dimana dusun Jemblung berada juga bukanlah lembah datar ataupun landai, karena ujung timurnya 30 meter lebih tinggi ketimbang ujung baratnya. Selain lebih rendah, ujung barat lembah dimana dusun Jemblung berada juga tepat bersisian dengan sungai Petir. Berbeda dengan ujung timurnya. Faktor ini yang nampaknya berperan penting terhadap aliran tanah pada bencana longsor dahsyat 12 Desember 2014 TU.
Sebelum luncuran tanah terjadi, dusun Jemblung telah lebih dulu dikejutkan oleh dua peristiwa luncuran tanah dalam skala kecil yang mengambil lokasi di dusun Jemblung sebelah barat. Apakah masih berkaitan ataukah tidak, apakah salah satu atau kedua longsor kecil itu menyebabkan gangguan stabilitas lereng utara Gunung Telagalele ataukah tidak, yang jelas ia segera diikuti luncuran tanah yang jauh lebih besar. Luncuran tanah terakhir ini secara umum dapat dibedakan menjadi luncuran tanah sisi timur dan luncuran tanah sisi barat.

Gambar
3. Perkiraan batas luncuran tanah sisi timur dalam bencana longsor
dahsyat Jemblung (Sampang) 2014 (garis kuning putus-putus) dalam citra
satelit Pleiades pada kanal cahaya tampak (kiri) dan citra aerial
PUNA/drone (kanan). Selain batas luncuran tanah, beberapa ciri khas
tanah longsor dapat dikenali khususnya dalam citra aerial. Sumber:
LAPAN, 2014 & KataDesa, 2014 dengan teks oleh Sudibyo, 2014.
Hal itu berbeda dengan luncuran tanah sisi barat. Pada awalnya luncurannya mungkin kecil dengan arah ke utara-barat laut. Namun tumpukan material longsornya amat mendesak lereng yang lebih rendah. Sehingga lereng yang sudah labil itu pun turut runtuh, menghasilkan longsor dalam volume lebih besar juga dengan arah ke utara-barat laut. Hal yang sama berulang, tumpukan materialnya mendesak lereng yang lebih rendah lagi hingga turut longsor. Pada akhirnya luncuran tanah sisi barat membawa volume tanah yang lebih besar ketimbang sisi timur. Pun demikian energinya, sehingga daya gerusnya pun lebih besar. Massa tanah pun terdorong jauh tanpa terhenti meski telah menghantam dusun Jemblung sebelah barat dengan telak. Selain dari luncuran tanah sisi barat, dusun Jemblung sebelah barat juga diterjang sebagian kecil massa tanah dari longsoran tanah sisi timur yang tadi terbelokkan. Akibatnya dusun Jemblung sebelah barat pun dihapus dari peta, sebagian tertimbun tanah dan sebagian lagi tergerus. Massa tanah di sini pun meluncur jauh hingga memasuki sungai Petir untuk kemudian menghilir sejauh sekitar 150 meter. Sehingga selain di bekas dusun Jemblung sebelah barat, banyak jasad korban longsor yang ditemukan di sekitar sungai Petir.

Gambar
4. Perkiraan batas luncuran tanah sisi barat dalam bencana longsor
dahsyat Jemblung (Sampang) 2014 dalam citra satelit Pleiades pada kanal
cahaya tampak (kiri) dan citra aerial PUNA/drone (kanan). Kemungkinan
terjadi tiga kali pergerakan tanah secara berantai, dari lereng yang
lebih tinggi ke lereng yang lebih rendah dengan luasan kian membesar.
Perkiraan batas masing pergerakan tanah diperlihatkan oleh garis kuning
putus-putus, sementara arah masing-masing gerakan tanah oleh tanda
panah. Sumber: LAPAN, 2014 & KataDesa, 2014 dengan teks oleh
Sudibyo, 2014.
Pelajaran
Selain bermanfaat memperkirakan bagaimana mekanisme sebuah bencana khususnya pada bencana yang berskala besar, penggunaan citra aerial dan/atau citra satelit memberikan pelajaran berharga dari Banjarnegara. Citra aerial dan/atau citra satelit sangat membantu dalam pencarian jasad korban. Dalam bencana longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014 ini, citra aerial dan satelit membantu memberikan gambaran antara pra dan pasca bencana. Sehingga gambaran dimana rumah-rumah yang tertimbun/tergerus tanah longsor dapat segera diperoleh. Mengingat cuaca yang kurang mendukung dengan langit kerap mendung, satelit penginderaan jauh tak bisa secepatnya membantu apalagi jika bekerja pada kanal cahaya tampak. Sebab pandangan satelit ke lokasi bencana akan kerap terganggu oleh tutupan awan. Sebaliknya PUNA/drone tidak begitu terganggu karena ketinggian jelajahnya lebih rendah dibanding awan. Sepanjang tidak turun hujan deras, PUNA/drone dapat dioperasikan tepat di atas lokasi bencana.

Gambar
5. Panorama eks Dusun Jemblung sebelah barat yang telah lumat oleh
timbunan tanah dan juga tergerus (atas) dan Dusun Jemblung sebelah timur
dengan latar depan tebing tempat sebagian massa tanah dalam luncuran
tanah sisi timur menubruk untuk kemudian berbelok arah (bawah). Sumber:
KataDesa, 2014 dengan teks oleh Sudibyo, 2014.
Selain sangat membantu dalam pencarian jasad para korban dengan memetakan batas-batas kawasan yang terlanda bencana longsor, pelajaran berharga lainnya dari Banjarnegara adalah bahwa citra aerial yang diproduksi PUNA/drone juga membantu mengevaluasi bagaimana tutupan vegetasi (tumbuh-tumbuhan) di sebuah lereng. Juga bagaimana keadaan lereng tersebut, khususnya lereng yang telah menunjukkan gejala pendahuluan akan bencana tanah longsor dalam bentuk retak-retak tanah dalam beragam skala. Ini akan sangat membantu dalam menyiapkan kewaspadaan bagi masyarakat disekitarnya.

Gambar
6. Perkiraan arah gerakan tanah dalam bencana longsor dahsyat Jemblung
(Sampang) 2014. Luncuran tanah sisi timur digambarkan dengan panah
kuning, sementara luncuran tanah sisi barat dengan panah merah. Gabungan
massa tanah kedua luncuran digambarkan dengan panah hitam, yang terus
menerjang dusun Jemblung sebelah barat hingga memasuki sungai Petir.
Sumber: KataDesa, 2014 dengan teks oleh Sudibyo, 2014.

Gambar
7. Tiga titik retak baru di Gunung Telagalele, desa Sampang
(Banjarnegara), tak jauh dari lokasi longsor dahsyat Jemblung (Sampang)
2014. Ketiga titik retak baru ini harus dicermati lebih lanjut ke depan
sebagai titik-titik yang rawan longsor. Sumber: Sudibyo, 2014 berbasis
Google Earth dan data dari KataDesa, 2014.
Titik-titik ini perlu segera ditangani dengan jalan segera ditutup tanah hingga rata. Juga perlu untuk terus dipantau apakah ada tanda-tanda pendahuluan lainnya seperti mulai merosotnya lereng, mulai miringnya pepohonan/tiang listrik ataupun mulai menegangnya kabel listrik yang melintas di atas lokasi. Selain itu bagaimana skenario terburuk terkait besarnya luncuran tanah dan arahnya pun musti mulai dipikirkan. Dalam konteks inilah pencitraan aerial berbasis PUNA/drone menjadi penting peranannya untuk mengevaluasi status lereng tersebut. Apalagi dengan kemampuannya yang melebihi resolusi citra satelit penginderaan bumi dan ongkos operasionalnya yang relatif murah. Agar kelak korban tak lagi berjatuhan…
Special Regard to ekliptika.wordpress.com