- Back to Home »
- profil »
- Lagi lagi tentang Cak Nun
Posted by : ngatmow
4.30.2015
Banyak yang menyebutnya sebagai kyai mbeling. Dalam ceramahnya, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun nggak jarang menggunakan kata-kata yang sangat rakyat jelata (ndasmu, asu, jancok, taek, dsb) dan nylekit. Yang tentu saja menyesuaikan dengan audience-nya saat itu (tidak di depan anak kecil atau semacamnya).
Cak Nun sengaja begitu agar tidak dikultuskan, tidak ingin di-wali-wali-kan oleh jamaahnya. Kalau orang yang pikirannya linier, sempit, tidak paham kontek, nggk kenal beliau..pasti bakalan berpikiran negatif, mengkafir-kafirkan.
“Coba tunjukkan satu saja di Indonesia ini yang tidak sesat,” kata Cak Nun saat itu.
Mereka yang tidak kenal dan tidak terbiasa dengan omongan Cak Nun, marah besar. Terutama mereka-mereka yang masih muda.
Kita memang masih sesat karena setiap kita sholat diwajibkan membaca ayat ‘Ihdinash Shirathal Mustaqim’ yang artinya tunjukilah kami jalan yang lurus.
“Kalau sudah merasa lurus dan benar maka nggak usah ikut pengajian..di sini tempatnya orang sesat yang terus mencari kebenaran dan jalan yang lurus.”
Cak Nun tidak ingin masyarakat umum mengenalnya sebagai kyai, haji, ustadz atau gelar-gelar semacam itu. Beliau sengaja mencopot gelar-gelar tersebut.
Pernah suatu kali Cak Nun jadi seorang pembicara dalam acara seminar. Panitia membuat Spanduk penyambutan yang isinya kurang lebih : “Selamat datang KH Emha Ainun Nadjib….”
Cak Nun pun bercanda sama panitia-nya, “Mas kalau gelar saya Kyai Haji..terus gelarnya Rasullulah apa mas ..: Kanjeng sepuh Kyai Haji Panglima Besar Waliyullah Nabiullah blablablablablabla..Muhammmad SAW.”
Dan kayaknya Cak Nun berhasil dengan cita-citanya itu. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai tokoh budaya, penyair atau seniman. Ketika ada jamaahnya Cak Nun yang bicara pemikiran (bukan ajaran) Cak Nun tentang agama, mereka sinis : “Kok percaya sama omongannya penyair… belajar agama kok dari seorang budayawan..!”
Tongkrongannya pun biasa saja, tidak menampakan diri sebagai seorang kyai.
“Agama itu letaknya di dapur, nggk perlu dipamerkan di warungnya…nggak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa atau apa pun yang penting yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan yang menyenangkan semua orang..begitu juga dengan agama, nggak masalah agama apapun yg di anut yang penting output di masyarakat itu baik..jadi orang yang mengamankan, menentramkan, menolong saat dibutuhkan..”
Cak Nun adalah salah satu tokoh gerakan reformasi (yang tidak diakui negeri ini), melengserkan sekaligus guru ngajinya Presiden Soeharto. Yang membujuk Gus Dur untuk mau jadi presiden dan mengajaknya meninggalkan istana saat Gus Dur di-impeachment oleh MPR.
“Lapo sampeyan nang istana setan…ayo mulih nang istana malaikat..!” ajak Cak Nun pada Gus dur.
“Nang endi istana malaikat iku Cak..?” tanya Gus Dur.
“Yo nang Ciganjur (rumah Gus Dur)..!” jawab Cak Nun.
Setelah itu Gus Dur keluar istana cuman pakai kaos oblong dan celana kolor.
Saya rasa jarang ada orang yang begitu ikhlas, berani, cerdas, arif seperti beliau. Walaupun pendidikannya cuman sampai semester 1 Fakultas Ekonomi UGM tapi otaknya melebihi seorang profesor. Profesor pun minder kalau disandingkan dengan Cak Nun. Karena beliau adalah berlian yang intelektualitasnya mumpuni.
Banyak sekali aktifitas Cak Nun demi keutuhan NKRI yang tak pernah diakui, ditulis dalam sejarah Indonesia. Dan sekarang beliau memutuskan untuk Out Of Box dari semua itu. Indonesia mengalami sakit kronis parah. Ilmu manusia pun nggak sanggup untuk menyembuhkan Indonesia. Cak Nun pun tak lagi mau tampil di media nasional. Menyibukan diri dalam kegiatan pengajian, shalawatan dan semacamnya (Mocopat Syafaat, Juguran Syafaat, Kenduri Cinta, Bang Bang Wetan dan sebagainya).
Cak Nun tidak mengakui negara Indonesia. Beliau cuma seorang penduduk Indonesia saja. “Saya tidak menganjurkan anda Golput…tapi kalau anda nggak Golput itu goblok..! Wis ngerti dike’i taek kok yo gelem ae…tiap lima tahun sekali dike’i taek kok yo ora kapok-kapok..! Terus anda masih penasaran : ‘jangan-jangan ini lidah saya ya..? lho kok pahit..lho kok??’..”
Dalam setiap acara seminar, sarasehan atau apa pun namanya Cak Nun tidak pernah perduli soal honor. Dibayar atau tidak dibayar bagi Cak Nun tak masalah. Cak Nun mewanti-wanti pada manajemen yang ngurusi Cak Nun untuk tidak menyebutkan angka.
“Berapa sih yang akan anda bayarkan pada saya??…dibayar berapapun nggak akan cukup!…Maka lebih baik tidak usah. Bukannya saya hebat…tapi saya takut menyinggung perasaan Tuhan. Urusan Akhlak dan dagang harus dipisahkan. Jangan sampai akhlak dikapitalisasi.”
Ustadz dibayar itu bukan karena transfer ilmunya tapi karena waktunya (yang dikorbankan), akomodasinya dan seterusnya. Karena itu tidak selayaknya kalau ada Ustadz, Motivator, Guru Ngaji pasang tarif.
Cak Nun yang menyebarkan kebaikan, membuka pori-pori kecerdasan, mencerahkan, membesarkan hati para jamaahnya tanpa minta imbalan apa pun. Beliau selalu memposisikan sama dengan jamaahnya. Sama-sama belajar dan mencari kebenaran bersama.
Berikut ini cuplikan beberapa pituturnya tentang ketidakinginanya untuk dikultuskan :
“Awas kalau sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taat) sama saya….tak tonyo ndasmu..!
Karena di maiyah ini semua orang berposisi sama.
Di sini tidak ada kyai-nya, tidak ada imam-nya, tidak ada mursid-nya, tidak ada syekh-nya.
Biasanya khan sebuah perkumpulan pengajian atau tariqat ada ‘ndas-ndasane’ yang harus ditaati sama jamaahnya.
Yang harus anda taati hanya Rasullulah dan Allah..bukan saya…saya nggak mau..!
Soalnya kalau anda taat sama saya..Saat kamu nyolong..saya nggk bisa nolong kamu di akhirat.
Hanya Allah dan syafaat Rasulullah yang bisa menolong kamu.
Kalau kamu taat sama saya..apa gunanya?
Saya sendiri masih harus taat sama Rasullah dan Allah.
Di sini adalah majelis ilmu..mencari kebaikan bersama dan tujuanya bukan untuk menguasai Indonesia..tapi mencari kebenaran bersama.
Jangan hidup menurut Cak Nun. Hidup sekali kok menurut Cak Nun..menurut Cak Nun, menurut syekh ini, menurut ulama ini, menurut itu…gak kabeh!!
Hidup itu menurut Allah, menurut Rasullullah..titik!
Hidup sekali kok menurut ini, menurut itu.
Kalau hidup menurut Cak Nun, nanti saya diseret di pengadilan Gusti Allah :
“Wong iki jarene nglakoni ngene mergo awakmu Nun..”
Terus saya njawab, “lha salahe dewe..wong kulo cuma’ ngomong kok..”
Kebenaran itu tidak pada siapapun. Kecuali pada keputusan terakhir anda masing-masing. Karena itu nanti yang dihisab oleh Allah. Anda boleh mendengar apa pun, boleh menafsirkan kayak apa pun, boleh melakukan apa pun setelah itu. Tapi sebenarnya yang dinilai adalah bahwa itu menjadi keputusan anda. Jangan pernah punya keputusan yang tidak otentik pada diri anda masing-masing. Artinya kalau shalatmu itu ya shalat kamu dan Allah..itu otentik.
Bukan kamu plus Cak Nun, plus Kyai, plus Ustadz, plus Ulama dan Allah.
Sepanjang kebenaran itu anda ketahui terletak di situ maka seluruh forum apa pun tidak masalah. Karena anda dewasa, tidak gampang ‘masuk angin’ oleh kalimat kayak apa pun.
Jangan mau ditipu oleh siapapun yang menghadir-hadirkan Tuhan kepadamu. Yang menghalang-halangi hubunganmu dengan Allah. Jangan percaya kepada Emha Ainun Nadjib. Jangan percaya kepada Kyai, Ustadz atau siapapun. Itu hak pribadimu untuk menemukan Tuhanmu dengan gayamu dan caramu..!”
Begitulah segelintir cerita tentang sang Guru Rakyat yang sebenarnya bisa berjilid-jilid kalau diceritakan secara detail. Begitu banyak kiprah beliau dalam mencerdaskan rakyat negeri ini dengan gerakan Maiyah-nya yang tujuannya tidak untuk menguasai Indonesia. Indonesia itu kecil, Indonesia adalah bagian dari kampung halamanku, begitu kata Cak Nun.
Dan Maiyah bukanlah sebuah sekte, aliran, madzhab dan sejenisnya. Maiyah adalah sebuah majelis ilmu, mencari kebenaran bersama untuk membentuk manusia Indonesia baru yang tangguh, berani, cerdas dan berwawasan luas (tambahi sendiri kalau kurang).
sumber tulisan : Robbi Gandamana dalam kompasiana.com