Archive for September 2018
Festival Payung Indonesia V di Borobudur
Pernah mengunjungi sebuah pagelaran seni tingkat nasional yang banyak payungnya ?
Pernah dengar soal Festival Payung Indonesia ?
Festival Payung Indonesia adalah sebuah Event yang masuk Calendar of Event Kementerian Pariwisata dimana dihadiri oleh beragam payung Nusantara dan mempertemukan perajin payung, seniman, pekerja seni dan komunitas kreatif untuk melestarikan payung tradisional Indonesia. Selain itu mengeksplorasi tradisi payung Indonesia hingga batas terjauhnya dengan melibatkan partisipasi beragam masyarakat.
Gelaran Festival Payung Indonesia ke V pada tahun 2018 ini digelar di tempat asalnya, ibu segala payung yakni Borobudur. Dengan dipusatkan di Taman Lumbini, Kompleks Candi Borobudur Magelang pada 7-9 September 2018 Festival Payung Indonesia 2018 kali ini mengambil tema "Lalitavistara". Yaitu penggambaran cerita payung pada salah satu relief di Candi Borobudur. Tepatnya yang merayakan payung sebagai penanda kelahiran, berbagai tahap kehidupan, keagungan dan kematian. Payung menjadi simbol sekaligus penanda dalam siklus kehidupan dan perekat keberagaman. Di samping itu Candi Borobudur sendiri merupakan simbol inspiratif, Sebuah tempat yang pas untuk mencari inspirasi baru dan diharapkan menjadi pemersatu beragam latar belakang agama, politik, sosial, dan budaya yang ada di Indonesia.
Festival Payung Indonesia 2018 Borobudur ini dibuka oleh Arak-Arakan Payung Nusantara yang mengelilingi Borobudur, menapaki kembali jalan purba yang dilalui para peziarah dunia bersama masyarakat sekitar. Selanjutnya digelar pentas tari dan musik,workshop pembuatan payung, workshop payung ecoprint, dan pameran payung lontar. Selama tiga hari berbagai ragam tradisi payung dari pelosok tanah air, seperti Jepara, Banyumas, Tasikmalaya, Tegal, Kendal, Malang dan Juwiring (Klaten), Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan sebagainya ditampilkan. Selain seni payung, beragam grup tari, musik, fashion dan komunitas kreatif dari Lumajang, Padang, Makassar, Banjarbaru (Kalsel), Bengkulu, Lampung Utara, Sumba Timur, Bali, Malang, Surabaya, Solo, Jakarta, Yogyakarta dan berbagai daerah lainnya juga dipamerkan di venue. Tidak ketinggalan para perancang busana muda negeri ini juga ikut berpartisipasi dengan memamerkan karya karya mereka.
Partisipan festival tidak hanya dari dalam negeri lho gaes....... Ada juga pertisipan dari Jepang, India, Pakistan dan Thailand. Khususon untuk delegasi Thailand kabarnya memang sudah rutin hadir setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan Festival Payung Indonesia dan Bo Sang Umbrella Festival (Tonpao, Provinsi Chiang Mai, Thailand) sudah melakukan hubungan sister-festival sejak 2016. Visinya pun sama. Yaitu menuju Asian Umbrella Community.
Selain pertunjukan seni, festival ini juga menjelajahi cita rasa sajian kuliner klasik Rasakala, yang meramu kembali kekayaan rasa yang digali kembali dari artefak sunyi Borobudur. Malam hari pengunjung diajak mendengarkan lantunan sunyi Ata Ratu maestro musik Jungga (alat musik tradisional Sumba Timur), Suara Semesta Ayu Laksmi dari Bali, dan kidung kontemporer dari Endah Laras. Di puncak acara, terdapat Anugerah Payung Indonesia untuk Syofyani Yusaf maestro tari dari Padang, Ata Ratu dan Mukhlis Maman maestro musik Kuriding (alat musik tradisional Kalimantan Selatan).
Pada Festival Payung Indonesia di Borobudur kali ini, bisa dikatakan adalah sebagai festival rakyat yang diselenggarakan, didukung dan diperuntukan bagi masyarakat kreatif. Komunitas lokal dilibatkan sejak dalam perencanaan dan bersama-sama menyelenggarakan dan menyambut pengunjung dengan terbuka.
Kemeriahan juga diselenggarakan di lima Balkondes (Balai Perekonomian Desa) yang tersebar di Wanurejo, Ngadiharjo, Borobudur, Karangrejo dan Bumiharjo.
Puas ?
Tentu saja kisanak. Pagelaran yang istimewa ini secara tidak langsung membuka mata kita bahwa sebenarnya kekayaan bangsa ini seolah tidak ada habisnya. Hanya satu hal saja " Payung ", ternyata beragam hal bisa ditemukan dan membuat mata kita takjub. Bahkan setelah diabadikan menjadi sebuah foto pun pagelaran ini masih terasa ke "gebyar"annya.......so amazing
So, mau datang pada Festival Payung Indonesia ke VI tahun 2019 depan ?
yuk gaes .........
Efek samping mlipir ke sini kalo versi saya sih bisa begini .........
![]() |
Bisa ketemu sama kakak rusuh idolah ........ Donni L Anggoro |
Sejenak di MAJT, Masjid Agung Jawa Tengah
Sudah lama sebenernya pingin piknik ke suatu tempat yang nggak kaya biasanya, kalo biasanya saya perginya ke gunung, sawah, waduk, lapangan, dan sebagainya yang berbau bau alam, suatu ketika tuh pinginnya ke tempat yang beda gaes........Kota.....
Yes....... kota besar yang banyak anunya ...... ehhh
Jangan salah sangka dulu, jangan ngeres dulu kisanak.....
maksud saya adalah bahwa di kota besar banyak gedungnya, banyak bangunan megahnya, banyak lampunya dan banyak pula hal hal yang tidak akan saya temukan di desa..........
maksud saya adalah bahwa di kota besar banyak gedungnya, banyak bangunan megahnya, banyak lampunya dan banyak pula hal hal yang tidak akan saya temukan di desa..........
Singkat cerita, Pucuk dicinta ulampun tiba sodara sodara, mungkin karena nasib lagi mujur atau mungkin sudah dituliskan dalam catatan hidup saya oleh Nya, beberapa waktu yang lalu saya dapat kesempatan menyambang kota kenangan (jaman masih bujangan), Semarang. eitss.......Jangan kira saya cuman sekedar mlipir dan jalan jalan ga jelas lho sodara sodara, ini tugas dinas lho ..... resmi dan halal hehehe......
Hal pertama yang ada di kepala saya selama di perjalanan menuju kota itu adalah niat untuk motret di beberapa tempat (yang sedari jaman masih ganteng dulu menjadi lokasi favorit untuk mengambil gambar) yaitu Masjid Agung Jawa Tengah, Klenteng Sam Poo Kong, Tugu Muda plus Gedung Lawang Sewunya, serta Pagoda Avalokitesvara atau yang lebih dikenal sebagai Vihara Buddhagaya Watugong.
skip........
Singkat cerita, setelah semua beban tugas terselesaikan maka saya langsung pesen ojek online (sopir kantor saya tinggal di suatu tempat yang bisa menjamin kebahagiaannya lahir dan bathin........ you know abaout that ? aw aw aw .....) untuk menuju target saya yang paling jauh dulu. Masjid Agung Jawa Tengah alias MAJT.
Masjid yang terletak di Jl. Gajah Raya No. 128 Sambirejo, Gayamsari Semarang ini ga jauh dari Simpang Lima lho. Ga sampai setengah jam dari Mall Ciputra kalo naik sepeda motor atau
- 4 Km dari pusat Kota Semarang melalui Jl. Semarang-Purwodadi (dengan perkiraan waktu tempuh kurang lebih 15 menit)
- 4 Km dari Stasiun Tawang melalui Jl. Citarum (15 menit)
- 8 Km dari Bandara Ahmad Yani melalui Jl. Jendral Sudirman (24 menit)
(perkiraan waktu tempuh menggunakan sepeda motor dan tanpa kendala lho ya)
Tapi....... sangat tidak direkomendasikan untuk ke lokasi pada saat sore hari sebab jalan ke masjid ini pasti macet parah. menyebalkan..... and i hate it........
Apa sih yang bikin masjid ini menarik ?
Yang pertama, sebagai seorang muslim saya insyaalloh punya ikatan bathin yang kuat terhadap masjid. Karena bagi seorang muslim, masjid adalah rumah dan tempat untuk kembali (terserah mau ditafsirkan bagaimana ya......bebas). Selain itu ada satu hal lagi yang muncul tiba tiba dalam hati nurani saya yang paling dalam, saya pingin menjalankan Sholat Maghrib di masjid ini gaes....... suwer......
Yang kedua, masjid ini merupakan salah satu masjid termegah di Indonesia lho. Luas lahannya saja mencapai 10 Hektar dan luas bangunan induk (untuk shalat) 7.669 meter persegi dengan rancangan gaya arsitektural campuran Jawa, Islam dan Romawi. So, sangat menarik untuk dipotret dan dipamerkan di halaman instagram kan ? hehehe ......
FYI, Masjid Agung yang luar biasa ini ceritanya dulu diarsiteki oleh Ir. H. Ahmad Fanani dari PT. Atelier Enam Jakarta yang memenangkan sayembara desain MAJT pada tahun 2001. Bangunan utama masjid beratap limas khas bangunan Jawa namun dibagian ujungnya dilengkapi dengan kubah besar berdiameter 20 meter ditambah lagi dengan 4 menara masing masing setinggi 62 meter ditiap penjuru atapnya sebagai bentuk bangunan masjid universal Islam lengkap dengan satu menara terpisah dari bangunan masjid setinggi 99 meter yang disebut sebagai Menara Al Husna atau Al Husna Tower.
Menara Al Husna atau Al Husna Tower yang tingginya 99 meter ini pada bagian dasarnya terdapat Studio Radio Dais (Dakwah Islam) dan pemancar TVKU. Sedangkan di lantai 2 dan lantai 3 digunakan sebagai Museum Kebudayaan Islam, di lantai 18 terdapat Kafe Muslim yang dapat berputar 360 derajat dan di lantai 19 digunakan untuk menara pandang, dilengkapi 5 teropong yang bisa melihat kota Semarang. Dan tahu nggak gaes, pada awal Ramadhan 1427 H lalu, teropong di masjid ini untuk pertama kalinya digunakan untuk melihat Rukyatul Hilal oleh Tim Rukyah Jawa Tengah dengan menggunakan teropong canggih dari Boscha lho......
Di bagian depan masjid, Gaya Romawi terlihat dari bangunan 25 pilar. Pilar-pilar bergaya koloseum Athena di Romawi dihiasi kaligrafi kaligrafi yang indah, menyimbolkan 25 Nabi dan Rosul, di bagian gerbang ditulis dua kalimat syahadat, pada bidang datar tertulis huruf Arab Melayu “Sucining Guno Gapuraning Gusti“.
Masih ada lagi kisanak, di sini ada Al Qur’an raksasa yang merupakan tulisan tangan karya H. Hayatuddin, yaitu seorang penulis kaligrafi dari Wonosobo dan ada juga replika bedug raksasa yang dibuat oleh santri dari Pesantren Alfalah Mangunsari, Jatilawang, Banyumas.
Mantab kan ???
Alraight, setelah beberapa waktu mengambil gambar adzan Maghrib pun berkumandang. Merinding gaess....... langit memunculkan semburat merah kebiruan dengan kombinasi sinar lampu yang luar biasa indah. Suasana yang khikmad serta alunan ayat suci Al Quran yang mengalun syahdu membuat hati ini serasa mau runtuh...... Bahkan seluruh raga ini seolah tidak mau diajak untuk beranjak pergi setelah jamaah shalat Maghrib selesai ........
Sebuah pengalaman spiritual yang tidak terbayangkan........
Subhanalloh .......
Dan suatu saat nanti saya akan kesini lagi...... pasti !!
9.07.2018
Posted by ngatmow