Archive for 2019
Secuil keindahan surga di Pacitan, bernama Pantai Klayar
Sebelumnya pernah ada yang tanya apa nama salah satu pantai tercantik di pesisir selatan Jawa timur khususnya di Pacitan?
Pernah ?
Kalo kamu menjawab pantai klayar, maka yang ada di pikiran kita sama man......
Pantai Klayar adalah menu wajib bagi para traveler untuk disinggahi di Kabupaten Pacitan. Selain menawarkan panorama alam yang mengagumkan, pantai ini dikenal karena keunikannya. Saking uniknya, ada beberapa ciri khas yang hanya ada di sini dan nggak akan ditemukan di pantai pantai yang lain dimanapun gaes.......
Ada karang raksasa menyerupai Sphinx di Mesir, air mancur yang dapat mengeluarkan bunyi seperti seruling (yang kemudian disebut warga setempat sebagai Seruling Samudra), hamparan pasirnya yang khas, dimulai dari warna yang agak putih pada bagian paling tepi, pasir tersebut kemudian bertransisi menjadi agak kecokelatan setelah mendekati air laut. Gradasi warna tersebut akan sangat jelas dari arah atas, apalagi kalau kita lihat dari pesawat atau kalau kita menggunakan drone.
Bagus ? Pasti.....
Bukan itu saja gaes.... Dibalut warna laut yang biru serta gulungan ombak pantainya yang cukup besar (karena Pantai Klayar ini merupakan salah satu dari gugusan Pantai Laut Selatan) yang tentu saja menyimpan sejuta keindahan dan misteri, pantai ini mampu membuat setiap pengunjung terpesona dan bahkan belakangan banyak yang mengatakan pantai ini berkelas dunia lho......
And i agree about that.....
halah.........
halah.........
Konon kabarnya, Keberadaan Pantai Klayar tidak lepas dari kisah masyarakat setempat. Ada dua versi yang mengungkapkan asal-usul nama Klayar. Versi pertama menyebutkan bahwa dahulu kala ada sebuah perahu yang diterjang ombak besar dan terdampar di pantai ini. Perahu yang terombang-ambing ombak sebelum terdampar disebut glayar yang lama-kelamaan berubah menjadi klayar. Dari situlah nama Klayar diambil. Versi kedua mengungkapkan, dulunya pantai ini seringkali dikunjungi penduduk untuk berjalan-jalan, baik di pagi hari maupun sore hari. Klayar berasal dari bahasa Jawa, yaitu klayar-kluyur yang artinya berjalan- jalan. Lama kelamaan, kata itu lebih disingkatkan menjadi klayar untuk mempermudah penyebutan.
Jadi pengen kesana kan?
Lokasi pantai klayar ini sendiri di Desa Kalak Kecamatan Donorejo atau Sekitar 35 km dari sebelah barat Kota Pacitan Jawa Timur. Untuk masuk kesini rute perjalanan melewati jalan sempit, banyak tikungan dan harus hati-hati. Bagi traveler yang menggunakan mobil pribadi sebaiknya kesehatan mobil diperhatikan dulu biar lebih optimal terutama di bagian kaki dan rem. sementara untuk kalian yang menggunakan sepeda motor dan datang bersama pasangan........ selamat, ada banyak tikungan mesra disini. akan banyak adegan mengerem dan akan terasa empuk di punggung.......ehhh.......
Ada dua rute utama traveler untuk bisa sampai ke pantai super menarik ini gaes..........
1. Pengunjung dari Yogyakarta bisa lewat Wonosari Sehabis berwisata di Yogyakarta dan ingin melanjutkan ke Pantai Klayar di Pacitan, kamu bisa melewati Wonosari atau Gunungkidul. Sampai di dua daerah itu, kamu bisa ambil arah lurus ke timur menuju daerah Pathuk. Selanjutnya, arahkan ke Pracimantoro dan lalu ke Giribelah. Kemudian, kamu akan melewati daerah Punung. Sampai di Punung kamu akan menemui papan penunjuk arah ke Pantai Klayar.
2. Pengunjung dari Kota Pacitan bisa lewat jalur bus Solo-Pacitan Jika kamu datang dari arah kota Pacitan, perjalanan akan terasa lebih singkat. Kamu hanya perlu mengikuti jalur bus Solo-Pacitan. Selanjutnya kamu akan menemui pertigaan Dadapan lalu belok kiri ke arah desa Candi. Sampai di sana, arahkan kendaraanmu ke kanan, lalu lurus saja mengikuti jalan. Kamu akan menemukan pertigaan dengan petunjuk yang mengarahkan ke Pantai Klayar. Jarak yang ditempuh dari kota Pacitan ke pantai ini sekitar 35 kilometer atau 2 jam perjalanan menggunakan mobil pribadi mengingat rutenya yang berkelok kelok dan naik turun
Penginapan ? ada......
bahkan ada juga yang tepat berada di pinggir pantai. by the way, untuk penginapan yang satu ini kita bisa pesan beberapa hari sebelumnya langsung ke the boss, Mr. Anggris (untuk CP bisa kontak saya dulu hehehe) ..... soal harga pasti aman dan nyaman di kantong kok hehehe.........
So, kapan mau ke klayar ?
buruan lho sebelum ambyar karena viral.......
Baritan Dieng Kulon, warisan budaya yang semakin tidak terlirik dan mulai terlupakan
Pernah mendengar istilah Baritan gaes ?
Belum ?
Wajar........ kaum milenial........
Belum ?
Wajar........ kaum milenial........
eh nggak ding, kaum kolonial juga ada yang belum kok hehhe.........

Yes....... Bener sekali.
Prosesi baritan diawali pada malam hari dimana 8 orang sesepuh desa Dieng Kulon melakukan ritual lampahan. Lampahan dimaksud adalah melakukan perjalan mengelilingi desa tepat pada sepertiga malam terakhir (kurang lebih dimulai jam 2 pagi...... ga terbayang deh dinginnya kaya apa.......)
Baritan adalah sebuah tradisi dalam budaya masyarakat Jawa yang sudah dilaksanakan secara turun temurun setiap tahun baru Islam. Tradisi baritan ini adalah sebuah upacara adat yang tidak lain adalah berkaitan dengan kepercayaan masyarakat dan peristiwa alam. Tentunya hal ini diawali dari kepercayaan masyarakat terkait ritual tradisi baritan yang dilakukan untuk mencegah bencana alam yang mungkin akan terjadi. Dan biasanya tradisi ini sangat erat dengan peristiwa sejarah yang dialami warga setempat secara berkala.

Sebuah pendapat berbeda dari para pelaku baritan (yang bermata pencaharian sebagai petani) mengatakan bahwa baritan berasal dari kata 'buBAR ngaRIT SelameTan', yang artinya adalah acara syukuran setelah selesai menyabit rumput/padi. namun ada sebagian masyarakat yang lain yang mengkonfirmasi bahwa bahkan kata itu tidak lagi diketahui asalnya. Masyarakat hanya tahu bahwa nama kegiatan ritual itu adalah Baritan, tanpa mempertanyakan lebih lanjut.
Seperti di daerah Indramayu, konon Baritan itu ada hubungannya dengan kata dalam bahasa Sunda "buritan" yang berarti waktu sehabis maghrib, mengacu pada waktu pelaksanaan, sedangkan di Jawa Tengah sebelah barat, baritan itu berasal dari kata 'barit ' yang berarti tikus. Hal ini berhubungan dengan maksud kegiatan ritual masyarakat agraris untuk menghindarkan diri dari serangan tikus.
Di sisi lain, secara religi bagi masyarakat yang melaksanakannya, tradisi Baritan adalah apresiasi rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia Nya. Harapannya, dengan upacara ini secara tidak langsung masyarakat juga diingatkan agar intropeksi diri atas tingkah lakunya juga menjaga kepedulian atas sesamanya. Jadi sebenernya manusia disuruh menjaga kodratnya kembali sebagai makhluk sosial. gitu sodara sodara......
Meskipun tradisi baritan ini sudah mulai ditinggalkan, namun di pulau Jawa sendiri masih ada beberapa daerah yang secara rutin menggelarnya, bahkan secara besar besaran. Pemalang, Blitar, Banyuwangi, Wonosobo dan Dieng adalah beberapa contohnya.
Wait......Dieng ?
Wait......Dieng ?
Yes....... Bener sekali.
Ada tradisi ini di Dieng dan sekitarnya sodara sodara......
Ga pernah denger? Sama ...... hehehe......
Tradisi Baritan di Dieng memang tidak terekspos seperti halnya tradisi pemotongan rambut gembel yang memang sudah dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah festival berskala nasional, namun tradisi ini masih tetap terjaga dan digelar oleh sebagian masyarakat Dieng (khususnya Desa Dieng Kulon) setiap tahun pada bulan Sura (penanggalan Jawa). Penjaga tradisi ini adalah 7 orang sesepuh desa yang dipimpin oleh mbah Sumanto (menggantikan Mbah Naryono yang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu).
Menurut Mbah Manto, panggilan akrab beliau, Baritan di Dieng Kulon berasal dari kata "mbubarake Peri lan Setan" (membubarkan peri dan setan). Dan sesuai dengan makna kepanjangannya itu Baritan di Dieng lebih menjadi sebuah upacara / ritual yang ditujukan agar masyarakat desa Dieng Kulon terhindar dari Balak dan Bencana, sehingga kehidupan senantiasa aman, tentram dan damai.
Begitu kira kira gaes......
Lanjut ya ........
Upacara Baritan Dieng terdiri dari berbagai rangkaian acara yang dipimpin langsung oleh para sesepuh desa. Rangakaian Baritan meliputi ziarah makam leluhur, kirab, penyembelihan wedhus kendhit (kambing putih dengan bulu berwarna hitam yang melingkar sempurna di bagian badan, atau sebaliknya) berjenis kelamin jantan.
Ada beberapa hal yang menarik dari pelaksanaan tradisi Baritan di Dieng ini ;
- Penanaman kaki wedhus kendhit di 4 penjuru desa dan kepala tepat di titik tengah desa oleh sesepuh desa, dan anehnya apabila digali lagi tulang belulang kaki dan kepala pada proses baritan tahun sebelumnya ga pernah ada....... padahal secara logika harusnya masih kan..........
- Dilakukan semacam doa bersama dan grebeg makanan di 7 perempatan desa Dieng Kulon
- Selamatan berupa acara makan bersama yang dilakukan oleh semua warga desa bertempat di kediaman salah seorang sesepuh desa dengan menu utama daging wedhus kendhit yang sudah disembelih pada pagi harinya. Dan sebagai informasi, pada acara selamatan ini daging satu ekor kambing tersebut tidak habis dibagi untuk hampir 300 orang yang hadir......... wow kan.......
- Disediakan 7 buah tumpeng dengan 7 warna yang berbeda, lengkap dengan segala lauk pauknya sebagai pelengkap aneka makanan olahan daging wedhus kendhit pada acara selamatan.
Mulai tertarik ?
Oke.........
Jadi ceritanya begini, satu persatu ya...........
Kemudian paginya, mereka bertujuh akan melakukan penyembelihan seekor kambing khusus yang disebut sebagai wedhus kendhit tadi. Kepala dan ke empat kakinya akan ditanam di 4 penjuru desa sebagai simbol benteng luar desa, kemudian kepala ditanam tepat di titik tengah desa sebagai simbol kewibaan desa. Dagingnya dikelola oleh kaum perempuan untuk dimasak dan diolah sedemikian rupa menjadi masakan yang akan disajikan dan dibagikan kepada seluruh masyarakat desa Dieng Kulon.
Proses penanaman kaki wedhus kendhit di 4 penjuru desa dilakukan secara bersama sama oleh 7 orang sesepuh desa Dieng Kulon dengan diiringi oleh warga dan berbagai macam kesenian desa seperti Barongsai, embeg dan jepin. Titik startnya adalah rumah yang akan digunakan sebagai tempat dilaksanakannya selamatan.
Sebelum perjalanan dimulai, akan dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama (Islam) dengan dilanjutkan pemukulan gong sebagai tanda start. Dalam proses jalan, warga masyarakat yang mengikuti akan melantunkan kidung yang berisi puji pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW dan itu dilakukan sampai ke titik titik penanaman
Sesampainya di perempatan, rombongan akan berhenti untuk menggelar doa bersama lagi. Doa dilakukan bersama warga yang berkerumun mengelilingi meja berisi makanan (biasanya tumpeng dan aneka perlengkapannya), kopi teh serta jajan pasar. Doa yang dipimpin oleh seorang pemuka agama ini diakhiri dengan Grebegan panganan alias rebutan makanan oleh warga yang ada di sekitarnya. Bahkan saking asiknya, warga sampai tidak sadar bahwa rombongan sudah beranjak meninggalkan lokasi itu menuju ke perempatan selanjutnya hingga sampai pada titik penanaman kaki dan kepala wedhus kendhit selesai.
Rame ? jelas......
Singkat cerita, setelah semua prosesi dilakukan maka acara terakhir adalah kembali berkumpul di titik start untuk melakukan selamatan. Seperti tradisi baritan di tempat lain, selamatan di Dieng Kulon juga diselenggarakan dengan mengumpulkan seluruh warga desa untuk melakukan doa bersama kemudian makan bersama dan terakhir adalah pagelaran kesenian desa selama sau hari penuh.
Istimewanya gaes, makanan yang disajikan adalah 7 buah tumpeng dengan 7 warna yang berbeda, lengkap dengan segala lauk pauknya sebagai pelengkap aneka makanan olahan daging wedhus kendhit pada acara selamatan. dan seperti sudah disebutkan sebelumnya, pada acara selamatan ini daging satu ekor kambing tersebut tidak habis dibagi untuk hampir 300 orang yang hadir. Ga percaya ? buktikan sendiri deh......
Tertarik ?
Tunggu bulan Sura pada penanggalan Jawa, nanti kita kesana bareng ...... oke ?
11.13.2019
Posted by ngatmow
Festival Rawa Pusung Jilid II : Banyak perbaikan sih, tapi ........
Festival Rawapusung kembali digelar gaess....
Event tahunan yang baru dua kali diselenggarakan secara besar di Desa Beji Kecamatan Pejawaran kali ini berlangsung selama tiga hari hari, yaitu hari Jumat sampai Minggu 20-22 September 2019 kemarin dan berhasil memukau ribuan pengunjung di sana lho. Suwer.......
Beda dengan tahun kemaren yang acaranya padat banget pada hari sabtu dan minggunya, tahun ini rangkaian acara agak sedikit diperlonggar gaes.....
Prosesi baritan dan wayang ruwat plus pagelaran wayang kulit semalam suntuk digelar pada hari jumat. Hari sabtu dikhususkan untuk pementasan kesenian warga plus kuda lumping dan kesenian Jepin sedangkan hari Minggunya hanya untuk fokus pada puncak acara yaitu pemotongan rambut gimbal si anak bajang. Sekedar informasi, kalau tahun sebelumnya ada tiga anak bajang yang dipotong rambutnya, kali ini hanya ada dua bocah yang ikut yaitu Nadia Ulfa (5 th) dari Desa Babadan Kecamatan Pagentan dan Syifa Muasafah (9 th) dari Dusun Genting, Desa Beji.
Masih seperti tahun sebelumnya, rangkaian prosesi puncak yaitu cukuran rambut gembel diawali dengan cara proses pengambilan air di Rawapusung dimana air tersebut akan digunakan untuk upacara jamasan si anak bajang. Pengambilan air ini dilakukan oleh sesepuh desa dengan diiringi warga yang berpakaian adat Jawa lengkap dengan menggunakan kendi dan batang batang bambu.
Setelah upacara jamasan, sekitar pukul 11.00 WIB, prosesi pemotongan rambut gembel pun dimulai. Syifa dan Nadia diarak menggunakan tandu mengelilingi desa dengan diikuti oleh segenap warga masyarakat dan pengunjung yang hadir untuk menuju Embung Rawapusung, tempat pelaksanaan pemotongan rambut.
Nah, pas proses arak arakan ini ada beberapa hal yang kayaknya perlu jadi bahan evaluasi gaes.
saking antusiasmenya warga, mereka menggerombol di kanan kiri jalan desa plus ikut dalam rombongan. tapi ..... mereka ga pakai kostum adat gaes........
jadi hasil jepretan foto untuk acara ini bisa dipastikan ambyar......... kan fak banget...............
hehehe.............
Selanjutnya, pada saat sudah ada di lokasi pemotongan, ga ada koordinasi antara pembawa acara sama korlap yang ada di sana. hasilnya, sambutan yang awalnya hanya ada dua yaitu kades dan bupati dalam pelaksanaannya jadi empat, ketua panitia dilanjut kades, camat dan bupati.....
DAMN !!
Bosen gaes.......
Panas juga .... polll........
Emang sih dalam sambutannya, Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono, menyampaikan beberapa hal yang bikin adem dan girang warga setempat, salah satunya adalah mengucapkan rasa bangganya bahwa desa Beji mampu menyelenggarakan event yang cukup besar seperti itu. Bupati bahkan berharap agar bisa menjadi inspirasi bagi desa desa lainnya dan bahkan di seluruh wilayah Kabupaten Banjarnegara.
"Yang jelas saya salut, event ini sangat bagus dan kreatif," kata Bupati.
Selain itu yang paling ditunggu warga adalah statement Bupati untuk membangun infrastruktur menuju ke desa yang notabene terpencil ini pada anggaran pemerintah tahun depan dan tentu saja hal ini disambut tepuk tangan dan sorak sorai pengunjung yang hadir.
"Tahun 2020 nanti dari Beji sampai Kecamatan Pagentan via Tegaljeruk akan dialokasikan anggaran sebesar Rp 8,5 miliar,"
Wow ya ??
hemm............
Hihihihi..........
Nah hal yang paling krodit (dan paling mengecewakan saya pribadi) dari pelaksanaan Festival Rawapusung tahun ini adalah pada prosesi intinya. Pas prosesi ini panitia (dalam hal ini entah siapa yang ikut ngatur di deket MC) mempersilahkan seluruh anggota rombongan pejabat untuk ikut ke tengah embung (lokasi pemotongan)...... padahal kecuali bupati, yang lain kan ga berkepentingan.......
umpel umpelan alias penuh sesak gaes.
DAN FOTONYA AMBYAR tentu saja........
Sedikit curhat sih, sebenarnya kalau mau sebuah acara terpublikasi dengan sukses berkompromilah dengan para fotografer yang ada dilokasi ........ tapi hal itu kayaknya emang nggak (atau bahkan sama sekali TIDAK) dipahami oleh panitia kegiatan budaya semacam ini yang rata rata adalah kaum kesepuhan ..... orang tua....... hahahaha
Pada umumnya mereka akan mementingkan bagaimana caranya "menyenangkan" dan "menghormati" tamu penting (apalagi pejabat) yang hadir tanpa memperhatikan sisi lain yang sebenarnya jauh lebih penting........
Sebagai contoh, di festival kemarin beberapa orang pejabat dengan pakaian non adat plus topi dipersilahkan untuk menemani pak camat (yang menggunakan baju adat lengkap dengan blangkon) memotong rambut salah satu anak bajang....... lha ini kan 100% bikin keki para fotografer yang berjejer di lokasi.........
Hasil fotonya ?
aSudahlah........
By the way, diluar hal hal tadi pada peyelenggaraan kali ini banyak perubahan positif kok. banyak perbaikan perbaikan di segala sisi. Mulai dari penataan lokasi, inovasi acara sampai dengan acara "klangenan" para fotografer, Jepin.......
Beda dengan tahun kemarin, pementasan jepin kali ini lebih asik dan fun. Para pemain yang mengalami trans alias kesurupan pun bermain api lebih asik..... dan yang pasti hasil foto teman teman fotografer jadi memuaskan........
Seperti tahun tahun sebelumya yang perlu dipublikasi lebih lanjut gaes, satu hal yang unik dalam penyelenggaraan Festival Rawapusung ini, penduduk desa Beji menyediakan rumah mereka sebagai hunian sementara (home stay) bagi para tamu seperti wartawan, fotografer, seniman dan wisatawan secara cuma cuma termasuk fasilitas konsumsi selama mereka menginap lengkap dengan segala keramahan khas pedesaan ala mereka.....
Menarik bukan ?
Semoga tahun depan festival ini masih ada dan digelar dengan semakin baik ya gaes...... biar kesenian dan kebudayaan di desa ini tetap lestari, nggak pernah mati ........
Event tahunan yang baru dua kali diselenggarakan secara besar di Desa Beji Kecamatan Pejawaran kali ini berlangsung selama tiga hari hari, yaitu hari Jumat sampai Minggu 20-22 September 2019 kemarin dan berhasil memukau ribuan pengunjung di sana lho. Suwer.......
Beda dengan tahun kemaren yang acaranya padat banget pada hari sabtu dan minggunya, tahun ini rangkaian acara agak sedikit diperlonggar gaes.....
Prosesi baritan dan wayang ruwat plus pagelaran wayang kulit semalam suntuk digelar pada hari jumat. Hari sabtu dikhususkan untuk pementasan kesenian warga plus kuda lumping dan kesenian Jepin sedangkan hari Minggunya hanya untuk fokus pada puncak acara yaitu pemotongan rambut gimbal si anak bajang. Sekedar informasi, kalau tahun sebelumnya ada tiga anak bajang yang dipotong rambutnya, kali ini hanya ada dua bocah yang ikut yaitu Nadia Ulfa (5 th) dari Desa Babadan Kecamatan Pagentan dan Syifa Muasafah (9 th) dari Dusun Genting, Desa Beji.
Masih seperti tahun sebelumnya, rangkaian prosesi puncak yaitu cukuran rambut gembel diawali dengan cara proses pengambilan air di Rawapusung dimana air tersebut akan digunakan untuk upacara jamasan si anak bajang. Pengambilan air ini dilakukan oleh sesepuh desa dengan diiringi warga yang berpakaian adat Jawa lengkap dengan menggunakan kendi dan batang batang bambu.
Setelah upacara jamasan, sekitar pukul 11.00 WIB, prosesi pemotongan rambut gembel pun dimulai. Syifa dan Nadia diarak menggunakan tandu mengelilingi desa dengan diikuti oleh segenap warga masyarakat dan pengunjung yang hadir untuk menuju Embung Rawapusung, tempat pelaksanaan pemotongan rambut.
Nah, pas proses arak arakan ini ada beberapa hal yang kayaknya perlu jadi bahan evaluasi gaes.
saking antusiasmenya warga, mereka menggerombol di kanan kiri jalan desa plus ikut dalam rombongan. tapi ..... mereka ga pakai kostum adat gaes........
jadi hasil jepretan foto untuk acara ini bisa dipastikan ambyar......... kan fak banget...............
hehehe.............
Selanjutnya, pada saat sudah ada di lokasi pemotongan, ga ada koordinasi antara pembawa acara sama korlap yang ada di sana. hasilnya, sambutan yang awalnya hanya ada dua yaitu kades dan bupati dalam pelaksanaannya jadi empat, ketua panitia dilanjut kades, camat dan bupati.....
DAMN !!
Bosen gaes.......
Panas juga .... polll........
Emang sih dalam sambutannya, Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono, menyampaikan beberapa hal yang bikin adem dan girang warga setempat, salah satunya adalah mengucapkan rasa bangganya bahwa desa Beji mampu menyelenggarakan event yang cukup besar seperti itu. Bupati bahkan berharap agar bisa menjadi inspirasi bagi desa desa lainnya dan bahkan di seluruh wilayah Kabupaten Banjarnegara.
"Yang jelas saya salut, event ini sangat bagus dan kreatif," kata Bupati.
Selain itu yang paling ditunggu warga adalah statement Bupati untuk membangun infrastruktur menuju ke desa yang notabene terpencil ini pada anggaran pemerintah tahun depan dan tentu saja hal ini disambut tepuk tangan dan sorak sorai pengunjung yang hadir.
"Tahun 2020 nanti dari Beji sampai Kecamatan Pagentan via Tegaljeruk akan dialokasikan anggaran sebesar Rp 8,5 miliar,"
Wow ya ??
hemm............
Hihihihi..........
Nah hal yang paling krodit (dan paling mengecewakan saya pribadi) dari pelaksanaan Festival Rawapusung tahun ini adalah pada prosesi intinya. Pas prosesi ini panitia (dalam hal ini entah siapa yang ikut ngatur di deket MC) mempersilahkan seluruh anggota rombongan pejabat untuk ikut ke tengah embung (lokasi pemotongan)...... padahal kecuali bupati, yang lain kan ga berkepentingan.......
umpel umpelan alias penuh sesak gaes.
DAN FOTONYA AMBYAR tentu saja........
Sedikit curhat sih, sebenarnya kalau mau sebuah acara terpublikasi dengan sukses berkompromilah dengan para fotografer yang ada dilokasi ........ tapi hal itu kayaknya emang nggak (atau bahkan sama sekali TIDAK) dipahami oleh panitia kegiatan budaya semacam ini yang rata rata adalah kaum kesepuhan ..... orang tua....... hahahaha
Pada umumnya mereka akan mementingkan bagaimana caranya "menyenangkan" dan "menghormati" tamu penting (apalagi pejabat) yang hadir tanpa memperhatikan sisi lain yang sebenarnya jauh lebih penting........
Sebagai contoh, di festival kemarin beberapa orang pejabat dengan pakaian non adat plus topi dipersilahkan untuk menemani pak camat (yang menggunakan baju adat lengkap dengan blangkon) memotong rambut salah satu anak bajang....... lha ini kan 100% bikin keki para fotografer yang berjejer di lokasi.........
Hasil fotonya ?
aSudahlah........
By the way, diluar hal hal tadi pada peyelenggaraan kali ini banyak perubahan positif kok. banyak perbaikan perbaikan di segala sisi. Mulai dari penataan lokasi, inovasi acara sampai dengan acara "klangenan" para fotografer, Jepin.......
Beda dengan tahun kemarin, pementasan jepin kali ini lebih asik dan fun. Para pemain yang mengalami trans alias kesurupan pun bermain api lebih asik..... dan yang pasti hasil foto teman teman fotografer jadi memuaskan........
Menarik bukan ?
Semoga tahun depan festival ini masih ada dan digelar dengan semakin baik ya gaes...... biar kesenian dan kebudayaan di desa ini tetap lestari, nggak pernah mati ........
9.24.2019
Posted by ngatmow
DCF X tahun 2019 ini ...... Super !!!
Pagelaran Dieng Culture Festival (DFC) memang selalu sukses menarik animo pengunjung yang besar setiap tahunnya. Tidak terkecuali pada tahun ini, DCF X 2019 alias Dieng Culture Festival ke 10 Tahun 2019, pun masih dipadati pengunjung yang berniat mendinginkan badan dan merasakan sensasi AC super besar bernama Dieng..........
Ramai dan penuh sesak ? Pasti......
Berisik dan penuh debu ? jelas .......
Mungkin ada yang berpikir ngapain sih berdesakan, kedinginan dan kena debu bertubi tubi seperti itu di Dieng ? kok ya mau ........
Hehehe...... jawabannya pasti beragam kisanak.
dan jawaban tiap orang bisa beragam pastinya ...........
Kalo bagi saya pribadi sih Dieng selalu ga ada matinya. Selalu ada hal yang berbeda di setiap gelaran Dieng Culture Festival setiap tahunnya. Rasa penasaran selalu muncul menjelang pagelan akbar itu. selalu muncul pertanyaan, seperti apa ya suasananya ? bagaimana ya acaranya ? siapa ya bintang tamu misteriusnya ? paginya muncul salju (bun upas) lagi nggak ya ? dan beragam pertanyaan lain yang seolah mewajibkan saya untuk berangkat kesana (selain karena tugas pastinya).
Ada yang menarik dan berbeda pada gelaran DCF X kali ini. Mulai dari awal pembukaan sampai dengan akhir penutupan rangkaian acara bisa kita temui pasukan kebersihan di setiap sudut Dieng. Mereka ber 750 ini menamakan diri sebagai Relawan Jaga Dieng Bersih . Relawan (yang ternyata sebenernya sudah ada sejak DCF IX tahun lalu namun dengan jumlah yang jauh lebih sedikit) ini dengan sigap memunguti setiap sampah yang mereka temui di sudut sudut area masing masing atau dalam bahasa kerennya patroli sampah dengan tidak lupa mengingatkan kepada setiap orang yang ditemui untuk tidak membuang sampah (dan bahkan puntung rokok) sembarangan.
Salut ........
Hal lain yang menarik dari DCF X adalah penjagaan area Festival yang sangat ketat dan rute area festival yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga memberi kenyamanan tersendiri bagi pengunjung "resmi". Pengamanan super ketat ini bisa dilihat di beberapa pintu masuk yang dijaga oleh panitia berseragam dan Satpol PP sehingga pengunjung yang bisa masuk hanya yang sudah memiliki ID Card khusus. Selain itu kali ini mereka ga segan segan untuk menolak siapapun pengunjung (bahkan yang mengaku pers sekalipun) untuk melewati mereka masuk ke gerbang area festival selama 24 jam !!
Hanya saja, patut disayangkan bahwa harga tiket untuk memperoleh status "resmi" tersebut masih sangat mahal. dan bagi saya itu masih tidak masuk akal ....... kalau saya dalam posisi sebagai pengunjung biasa seperti lainnya......hehehe.
Pelaksanaan DCF yang ke sepuluh ini secara keseluruhan acaranya masih hampir sama dengan tahun tahun sebelumnya. Luar biasa di malam hari, namun ambyar di siang harinya..... ambyar disini dalam artian acara acara yang digelar masih ga begitu menarik. paling hanya diskusi kopi di salah satu panggung saja yang dapat animo plus dari pengunjung. Lainnya nihil sodara sodara.
Nah hal ini menyangkut juga adanya beberapa pertanyaan dari pengunjung yang rata rata sempat kebingungan terkait stage utama. Soalnya kali ini panggungnya ga hanya satu atau dua, tapi ada empat !!!
ya .......empat panggung dengan acara yang berbeda dan sama sama menggunakan sound yang sama super kerasnya......... fak banget kan ???
krodit sangat nyata jelas terjadi pada sore hari pada hari sabtu tanggal 3 agustus 2019. Pengunjung yang mulai membludak dibuat bingung dengan 4 panggung yang menampilkan hal berbeda. ada yang band pelajar, ada yang ngobrol kopi, ada yang perhelatan kesenian khas dieng, ada juga yang kosong melompong. Dan parahnya, sejam kemudian ke empat panggung itu bergantian kosongnya..... nah lho.......
Di setiap helatan akbar DCF, Satu hal yang paling ditunggu segenap manusia yang rela berdesakan pada malam harinyaadalah pagelaran Senandung Negeri di Atas Awan yang selalu fenomenal. Dan itu terbukti pada malam hariitu. Pergerakan wisatawan yang sangat masif disertai dengan tingginya antusiasme mereka, mengakibatkan terulang kembalinya hal hal yang rutin terjadi setiap penyelenggaraan DCF.
Di malam terakhir ini, ada dua hal yang menarik bagi saya. Pertama, antusiasme pengunjung yang sangat luar biasa direspon dengan performa memikat para penampil. Djaduk Ferianto dan Kua Etnika melempar banyak hits. Beberapa lagunya, yaitu Jawa Dwipa dan Swarna Dwipa. Aksi om Djaduk Ferianto ini lalu ditutup lagu Sewu Kuto milik Didi Kempot dengan aransemen yang mengalami perubahan mengikuti gaya om Djaduk bersama Kua Etnikanya.
Performa tidak kalah memikat ditampilkan Secret Guest Star malam itu, Isyana Sarasvati.
Damn.........
Kalau saja saya tahu penampil rahasianya dia, pasti saya mendekat ke stage. dan dengan berbekal kartu sakti 1000 pintu, pasti bela belain selfi sama doi...... ga capek capek naik gunung malam itu cuman buat motret stage dari kejauhan..........
Sembilan hits dengan dibuka pake lagu ‘Kau’ disusul lagu ‘Sekali Lagi’ dan ‘Tetap Dalam Jiwa’ sayup sayup mengalun merdu sampai telinga saya di atas gunung di seberang stage. Dan yang lebih ngeselin lagi adalah ditampilkan juga lagu ‘A Whole New World’ yang notabenenya aku paling suka..........koor oleh oleh kurang lebih 100 ribu pengunjung di depan panggung pula.......... #&%@*
skip ...............dari pada sakit hati ingetnya....... hahaha..................
Hal kedua yang bagi saya yang menarik malam itu adalah naiknya ribuan lampion ke udara. Biasa sih sebenernya, namun kabar bahwa pelepasan lampion diiringi dengan menyanyikan lagu "Tanah airku" bareng bareng itu adalah yang terakhir, membuat momen kali ini berbeda. Syahdu, menakjubkan, luar biasa namun sedih juga ..... apalagi saya nontonnya dari atas bukit di seberang panggung persis.......
tak bisa diungkapkan dengan kata kata ..............
Kabar bahwa Festival Lampion pada malam hari itu sebagai festival terakhir kemudian diklarifikasi dalam akun Twitter resmi Panitia Dieng Culture Festival, @FestivalDieng, dimana disitu diunggah sebuah video para peserta Dieng Culture Festival 2019 ketika bersama-sama melepas lampion. Bersama video tersebut, panitia juga menuliskan ucapan terima kasih atas antusias peserta Dieng Culture Festival serta keterangan bahwa festival lampion pada Dieng Culture Festival 2019 adalah yang terakhir di event tahunan itu.
Berarti tahun depan sepi dong ?
Belum tentu sih, mungkin akan ada inovasi lain lagi yang akan jadi kejutan buat wisatawan dan pengunjung DCF. Kita tunggu saja........
Hari berikutnya, rangkaian upacara puncak Dieng Culture Festival digelar tanpa ada perubahan yang berarti dari tahun tahun sebelumnya. Diawali dengan kirab bocah bajang, upacara jamasan sampai dengan pemotongan rambut di komplek candi Arjuna, masih persis sama. Hanya saja kali ini penjagaan lebih ketat dan pengunjung juga lebih tertib mengikuti jalannya proses.
Namun ada beberapa hal yang mungkin perlu dicermati, dikoreksi ataupun disikapi lebih lanjut. Ketika proses pemotongan rambut, karena jumlah anaknya yang banyak serta "hanya seperti itu saja", pengunjung yang sudah kepanasan akhirnya bubar jalan. Parahnya lagi ketika mereka adalah grup wisatawan dalam bentuk rombongan, mereka tanpa ragu dan tanpa memperdulikan sakralnya prosesi malah justru melakukan foto keluarga sambil teriak teriak gak jelas. Damn..............
Semoga mereka baca tulisan ini gaes ........
Nah selesai upacara cukuran rambut gembel, selanjutnya dilakukan larungan alias menghanyutkan potongan rambut tersebut ke sungai. Kalau biasanya di telaga warna, tahun ini dilakukan di Telaga Balekambang. Menurut Mbah Manto, pemangku adat Dieng, Telaga Balekambang sebenarnya lebih tepat dibandingkan dengan Telaga Warna sebagai tempat pelarungan. Sebab Telaga ini langsung berhubungan dengan sungai Serayu yang mengarah ke Laut Selatan.
By the way, kalo menurut saya sih sama saja. Sebab sama sama susah buat motretnya.....kalau di telaga warna terlalu jauh jaraknya, kalau di balekambang ga ada tempatnya, sebab hampir seluruh areanya diselimuti gulma dan lain lain yang tentu saja ga bisa diinjak dan digunakan sebagai tempat motret hehehe..............
After all, secara keseluruhan sih penyelenggaraan Dieng Culture Festival ke sepuluh (DCF X) kali ini menurut saya sangat baik. Banyak perubahan yang terjadi dan mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Juga sudah dipersiapkannya proses proses antisipatif terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pelaksanaannya.
Yang jelas, semoga di tahun depan panitia penyelenggara, pokdarwis, warga masyarakat serta pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara bisa bekerjasama lebih nyata dan intensif agar Dieng Culture Festival XI 2020 bisa lebih wow lagi, tanpa macet lagi, tanpa kendala .......... dan tentu saja harga tiketnya lebih murah dari yang sudah sudah hahahaha.....................
Ramai dan penuh sesak ? Pasti......
Berisik dan penuh debu ? jelas .......
Mungkin ada yang berpikir ngapain sih berdesakan, kedinginan dan kena debu bertubi tubi seperti itu di Dieng ? kok ya mau ........
Hehehe...... jawabannya pasti beragam kisanak.
dan jawaban tiap orang bisa beragam pastinya ...........
Kalo bagi saya pribadi sih Dieng selalu ga ada matinya. Selalu ada hal yang berbeda di setiap gelaran Dieng Culture Festival setiap tahunnya. Rasa penasaran selalu muncul menjelang pagelan akbar itu. selalu muncul pertanyaan, seperti apa ya suasananya ? bagaimana ya acaranya ? siapa ya bintang tamu misteriusnya ? paginya muncul salju (bun upas) lagi nggak ya ? dan beragam pertanyaan lain yang seolah mewajibkan saya untuk berangkat kesana (selain karena tugas pastinya).
Ada yang menarik dan berbeda pada gelaran DCF X kali ini. Mulai dari awal pembukaan sampai dengan akhir penutupan rangkaian acara bisa kita temui pasukan kebersihan di setiap sudut Dieng. Mereka ber 750 ini menamakan diri sebagai Relawan Jaga Dieng Bersih . Relawan (yang ternyata sebenernya sudah ada sejak DCF IX tahun lalu namun dengan jumlah yang jauh lebih sedikit) ini dengan sigap memunguti setiap sampah yang mereka temui di sudut sudut area masing masing atau dalam bahasa kerennya patroli sampah dengan tidak lupa mengingatkan kepada setiap orang yang ditemui untuk tidak membuang sampah (dan bahkan puntung rokok) sembarangan.
Salut ........
Hal lain yang menarik dari DCF X adalah penjagaan area Festival yang sangat ketat dan rute area festival yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga memberi kenyamanan tersendiri bagi pengunjung "resmi". Pengamanan super ketat ini bisa dilihat di beberapa pintu masuk yang dijaga oleh panitia berseragam dan Satpol PP sehingga pengunjung yang bisa masuk hanya yang sudah memiliki ID Card khusus. Selain itu kali ini mereka ga segan segan untuk menolak siapapun pengunjung (bahkan yang mengaku pers sekalipun) untuk melewati mereka masuk ke gerbang area festival selama 24 jam !!
Hanya saja, patut disayangkan bahwa harga tiket untuk memperoleh status "resmi" tersebut masih sangat mahal. dan bagi saya itu masih tidak masuk akal ....... kalau saya dalam posisi sebagai pengunjung biasa seperti lainnya......hehehe.
Pelaksanaan DCF yang ke sepuluh ini secara keseluruhan acaranya masih hampir sama dengan tahun tahun sebelumnya. Luar biasa di malam hari, namun ambyar di siang harinya..... ambyar disini dalam artian acara acara yang digelar masih ga begitu menarik. paling hanya diskusi kopi di salah satu panggung saja yang dapat animo plus dari pengunjung. Lainnya nihil sodara sodara.
Nah hal ini menyangkut juga adanya beberapa pertanyaan dari pengunjung yang rata rata sempat kebingungan terkait stage utama. Soalnya kali ini panggungnya ga hanya satu atau dua, tapi ada empat !!!
ya .......empat panggung dengan acara yang berbeda dan sama sama menggunakan sound yang sama super kerasnya......... fak banget kan ???
krodit sangat nyata jelas terjadi pada sore hari pada hari sabtu tanggal 3 agustus 2019. Pengunjung yang mulai membludak dibuat bingung dengan 4 panggung yang menampilkan hal berbeda. ada yang band pelajar, ada yang ngobrol kopi, ada yang perhelatan kesenian khas dieng, ada juga yang kosong melompong. Dan parahnya, sejam kemudian ke empat panggung itu bergantian kosongnya..... nah lho.......
Di setiap helatan akbar DCF, Satu hal yang paling ditunggu segenap manusia yang rela berdesakan pada malam harinyaadalah pagelaran Senandung Negeri di Atas Awan yang selalu fenomenal. Dan itu terbukti pada malam hariitu. Pergerakan wisatawan yang sangat masif disertai dengan tingginya antusiasme mereka, mengakibatkan terulang kembalinya hal hal yang rutin terjadi setiap penyelenggaraan DCF.
- Macet parah (di ruas jalan antara Museum Kailasa sampai dengan Pertigaan Terminal yang biasanya hanya ditempung 2 menit malam itu harus ditempuh paling tidak 30 menit untuk sepeda motor dan 1 jam kalo pake mobil)
- Pengunjung saling berdesakan (nah kesempatan ini digunakan sebagai alibi oleh para pengunjung mesum untuk menyenggol lawan jenis)
- Serta banyaknya pengunjung yang jatuh sakit dan pingsan mendadak karena kedinginan (maklum suhu udara berkisar antara 8 - 10 derajat celcius saja) dan sulitnya bernafas. Khusus untuk kasus terakhir hal yang patut diacungi jempol adalah kinerja tim kesehatan, relawan, teman teman RAPI serta panitia yang sangat sigap.
Di malam terakhir ini, ada dua hal yang menarik bagi saya. Pertama, antusiasme pengunjung yang sangat luar biasa direspon dengan performa memikat para penampil. Djaduk Ferianto dan Kua Etnika melempar banyak hits. Beberapa lagunya, yaitu Jawa Dwipa dan Swarna Dwipa. Aksi om Djaduk Ferianto ini lalu ditutup lagu Sewu Kuto milik Didi Kempot dengan aransemen yang mengalami perubahan mengikuti gaya om Djaduk bersama Kua Etnikanya.
Performa tidak kalah memikat ditampilkan Secret Guest Star malam itu, Isyana Sarasvati.
Damn.........
Kalau saja saya tahu penampil rahasianya dia, pasti saya mendekat ke stage. dan dengan berbekal kartu sakti 1000 pintu, pasti bela belain selfi sama doi...... ga capek capek naik gunung malam itu cuman buat motret stage dari kejauhan..........
Sembilan hits dengan dibuka pake lagu ‘Kau’ disusul lagu ‘Sekali Lagi’ dan ‘Tetap Dalam Jiwa’ sayup sayup mengalun merdu sampai telinga saya di atas gunung di seberang stage. Dan yang lebih ngeselin lagi adalah ditampilkan juga lagu ‘A Whole New World’ yang notabenenya aku paling suka..........koor oleh oleh kurang lebih 100 ribu pengunjung di depan panggung pula.......... #&%@*
skip ...............dari pada sakit hati ingetnya....... hahaha..................
Hal kedua yang bagi saya yang menarik malam itu adalah naiknya ribuan lampion ke udara. Biasa sih sebenernya, namun kabar bahwa pelepasan lampion diiringi dengan menyanyikan lagu "Tanah airku" bareng bareng itu adalah yang terakhir, membuat momen kali ini berbeda. Syahdu, menakjubkan, luar biasa namun sedih juga ..... apalagi saya nontonnya dari atas bukit di seberang panggung persis.......
tak bisa diungkapkan dengan kata kata ..............
Kabar bahwa Festival Lampion pada malam hari itu sebagai festival terakhir kemudian diklarifikasi dalam akun Twitter resmi Panitia Dieng Culture Festival, @FestivalDieng, dimana disitu diunggah sebuah video para peserta Dieng Culture Festival 2019 ketika bersama-sama melepas lampion. Bersama video tersebut, panitia juga menuliskan ucapan terima kasih atas antusias peserta Dieng Culture Festival serta keterangan bahwa festival lampion pada Dieng Culture Festival 2019 adalah yang terakhir di event tahunan itu.
"Terima kasih Indonesia. Ini adalah tahun terakhir Dieng Culture Festival dengan Lampion. Tahun depan kita tidak akan menggunakan lampion lagi. Terima kasih yang telah mendukung kami. Kalian yang terbaik dan sampai jumpa di @jazzatasawan 2020"
Berarti tahun depan sepi dong ?
Belum tentu sih, mungkin akan ada inovasi lain lagi yang akan jadi kejutan buat wisatawan dan pengunjung DCF. Kita tunggu saja........
Hari berikutnya, rangkaian upacara puncak Dieng Culture Festival digelar tanpa ada perubahan yang berarti dari tahun tahun sebelumnya. Diawali dengan kirab bocah bajang, upacara jamasan sampai dengan pemotongan rambut di komplek candi Arjuna, masih persis sama. Hanya saja kali ini penjagaan lebih ketat dan pengunjung juga lebih tertib mengikuti jalannya proses.
Namun ada beberapa hal yang mungkin perlu dicermati, dikoreksi ataupun disikapi lebih lanjut. Ketika proses pemotongan rambut, karena jumlah anaknya yang banyak serta "hanya seperti itu saja", pengunjung yang sudah kepanasan akhirnya bubar jalan. Parahnya lagi ketika mereka adalah grup wisatawan dalam bentuk rombongan, mereka tanpa ragu dan tanpa memperdulikan sakralnya prosesi malah justru melakukan foto keluarga sambil teriak teriak gak jelas. Damn..............
Semoga mereka baca tulisan ini gaes ........
Nah selesai upacara cukuran rambut gembel, selanjutnya dilakukan larungan alias menghanyutkan potongan rambut tersebut ke sungai. Kalau biasanya di telaga warna, tahun ini dilakukan di Telaga Balekambang. Menurut Mbah Manto, pemangku adat Dieng, Telaga Balekambang sebenarnya lebih tepat dibandingkan dengan Telaga Warna sebagai tempat pelarungan. Sebab Telaga ini langsung berhubungan dengan sungai Serayu yang mengarah ke Laut Selatan.
By the way, kalo menurut saya sih sama saja. Sebab sama sama susah buat motretnya.....kalau di telaga warna terlalu jauh jaraknya, kalau di balekambang ga ada tempatnya, sebab hampir seluruh areanya diselimuti gulma dan lain lain yang tentu saja ga bisa diinjak dan digunakan sebagai tempat motret hehehe..............
After all, secara keseluruhan sih penyelenggaraan Dieng Culture Festival ke sepuluh (DCF X) kali ini menurut saya sangat baik. Banyak perubahan yang terjadi dan mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Juga sudah dipersiapkannya proses proses antisipatif terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pelaksanaannya.
Yang jelas, semoga di tahun depan panitia penyelenggara, pokdarwis, warga masyarakat serta pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara bisa bekerjasama lebih nyata dan intensif agar Dieng Culture Festival XI 2020 bisa lebih wow lagi, tanpa macet lagi, tanpa kendala .......... dan tentu saja harga tiketnya lebih murah dari yang sudah sudah hahahaha.....................
8.11.2019
Posted by ngatmow
Festival Mandi Lumpur Kalilunjar, perwujudan cinta terhadap bumi
Pernah membayangkan badan kita penuh lumpur dengan perasaan riang gembira dan syahdu ?
atau pernah nggak merasakan sensasi mandi lumpur rame rame bareng orang satu desa ?
Belum ?
Sama. Lagian kalau dipikir pikir ngapain juga ? dan mana ada tempat begituan ?
eits jangan salah pikir dulu bos.......... maksudnya tempat yang ngadain mandi lumpur rame rame itu......... bukan yang anu......... hehehe .........
Lokasi tepatnya yaitu di Desa Kalilunjar Kecamatan Banjarmangu. Kalo dari alun alun kota sekitar 20-30 menit perjalanan ke arah utara mengikuti jalur Jalan Provinsi dari Banjarnegara menuju ke Dieng via Karangkobar. Nggak jauh sih, tapi untuk yang mau menuju ke lokasi diharapkan agak lebih hati hati karena banyak sekali tikungan "mesra"nya. Maklum jalan pegunungan dimana kita harus mendaki gunung lewati lembah macam film kartun di tv itu hihihi..........
Namanya yang unik, langka dan tidak umum di negeri kita membuat penasaran level dewa bagi saya. Dalam kepala saya, bayangan awalnya sih akan seperti Festival Lumpur Boryeong yang digelar di Pantai Daecheon (pantai terbesar di pesisir barat Korea), atau Festival Holy di Islamabad India yang lumpurnya bercampur warna warni indah sekali.
Tapi, ternyata kali ini tidak sama sodara sodara.
Sangat berbeda. Ada filosofi yang sangat mendalam dan tujuan yang sangat mulia dibalik pelaksanaannya.
Jadi begini, Festival Mandi Lumpur di desa Kalilunjar merupakan kegiatan yang selalu digelar dalam rangka peringatan Hari Bumi setiap tahun. Menurut Kepala Desa setempat, Slamet Raharjo, alasan menggunakan lumpur adalah berawal dari filosofi bahwa lumpur adalah unsur alam yang selalu bersinggungan dengan manusia terutama petani di desa mereka. Dan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kecintaan terhadap alam itulah acara ini digelar secara besar besaran.
Sebenarnya, proses pelaksanaan festival ini cukup sederhana lho sodara sodara. Pada hari H, paginya warga desa kalilunjar berbondong bondong menuju ke lapangan kecil di bawah Gunung Lawe (sebuah bukit batu utuh yang tinggi menjulang dengan pepohonan tumbuh subur di sekelilingnya) dimana terdapat sebuah kolam berdiameter sekitar 20 meter yang berbentuk lingkaran. Namun untuk peringatan Hari Bumi kali ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi bentuk hati dan dipersiapkan menjadi penuh lumpur.
Sekitar jam 9 pagi, Kades Kalilunjar, berdiri di atas mobil bak terbuka yang sudah diparkir di pinggir tebing, tepat di atas kolam, untuk memberikan sambutan dan memulai acara. Dalam orasinya, dia mengingatkan warga masyarakat bahwa kegiatan ini murni sebagai kegiatan budaya dan jangan dikaitkan dengan hal hal yang berbau syirik. Selain itu dia menekankan bahwa inti dari kegiatan festival adalah menggeliatkan kembali kecintaan masyarakat terhadap bumi dan isinya serta meningkatkan persatuan, kesatuan, kerukunan dan rasa kekeluargaan dalam masyarakat Desa Kalilunjar.
Setelah diadakan doa bersama, Slamet memberikan aba-aba agar warga memasuki kolam lumpur. Dengan komando dari kepala desa itu, warga secara serentak masuk dan mengambil posisi seperti bersujud di dalam lumpur sebagai perwujudan wujud rasa syukur mereka sambil saling bergandengan tangan. Hal ini konon katanya adalah sebagai bentuk perwujudan kerukunan, persatuan dan kesuatuan antar warga seperti apa yang dikatakan pak kades di dalam sambutannya tadi.
Syahdu
itulah yang terjadi.
entah mengapa semua orang yang hadir mendadak diam, terlarut dalam lantunan puji pujian dari pengeras suara..
Tiba tiba, seorang sesepuh desa yang berada di atas mobil bersama pak kades melemparkan segenggam uang koin ketengah kerumunan warga di dalam kolam lumpur itu.
Dan.......
ambyar sodara sodara........
Sekitar 500 orang yang ada disitu langsung berlompatan dan saling berebut koin. Sambil tertawa bahagia mereka sudah tidak memperdulikan lagi bila seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur (dan keringat tentunya hehehe....). Laki laki dan perempuan dari berbagai usia ikut dalam keriuhan suasana.
Mereka rela harus jatuh bangun dan mandi lumpur berdesakan hanya untuk mendapatkan uang koin tersebut. Sementara dari atas mobil Kepala Desa dan beberapa orang Sesepuh desa bergantian menebar kepingan kepingan uang koin itu sampai habis tak bersisa.
Menarik kan ?
Seru ..........
Oya, uang koin yang diperebutkan warga dalam kegiatan ini merupakan uang yang telah didoakan oleh sesepuh desa. Meski nominalnya tidak banyak, namun warga percaya bahwa uang koin tersebut bisa mendatangkan berkah lho.......
Selesai berlumpur ria, selanjutnya ratusan warga tersebut beranjak dari kolam untuk berkumpul dan membentuk sebuah barisan panjang di jalan raya dengan masing masing membawa beberapa batang bibit pohon. Ada 3 jenis pohon yang dibawa yaitu pohon Mahoni, pohon durian dan pucuk merah.
Salah satu tokoh pemuda desa Kalilunjar, Jojo, mengatakan bahwa Pohon Mahoni dipilih karena merupakan jenis kayu keras yang bisa menjadi investasi jangka panjang masyarakat, juga digunakan sebagai tanaman konservasi mengingat bahwa Desa Kalilunjar memiliki kontur tanah berbukit dan berada di tebing yang secara otomatis akan rawan longsor, sementara di bagian bawah desa membentang Sungai Merawu yang terus mengikis bantaran sungai yang dilaluinya. Ngeri.............
Untuk bibit Pohon Durian, dia menuturkan bahwa jenis pohon ini dipilih karena selain bisa digunakan sebagai pohon konservasi juga memiliki nilai ekonomis tinggi mengingat bahwa buah durian sangat digemari masyarakat Kalilunjar dan bahkan Banjarnegara. Terakhir, Pohon pucuk merah yang notabene adalah tanaman hias juga dipilih oleh masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah untuk ditanam sebagai tanaman penghias bahu jalan di sepanjang wilayah desa Kalilunjar. Selain indah, juga sebagai salah satu langkah awal program Desa Seribu Bunga yang menjadi cita cita ibu ibu PKK desa.
Barisan itu kemudian berjalan kaki menuju kantor balai desa yang berjarak sekitar 2 kilometer. Sepanjang perjalanan dilakukan penanaman pohon pucuk merah tersebut pada tempat tempat yang sudah ditentukan. Hebatnya lagi, sambil jalan mereka juga secara sukarela mengambili sampah sampah yang ditemukan dan mengumpulkannya untuk kemudian dibakar setelah sampai di Balai desa.
Selanjutnya mereka bersama sama melakukan gerakan penanaman pohon mahoni dan durian yang sudah dipersiapkan di sepanjang bantaran sungai Merawu yang masuk wilayah desa Kalilunjar.
Meskipun melelahkan dan memakan waktu dari pagi hingga sore hari, warga masyarakat mengaku merasa sangat puas. Bahkan pada umumnya mereka mengharapkan bahwa kegiatan semacam ini harus dilestarikan dan dijaga eksistensinya, karena selain sebagai hiburan, juga memiliki tujuan yang sangat mulia dan berjangka panjang.
" Ini adalah wujud nyata kepedulian kami terhadap bumi, karena kami sebagai petani harus mencintai dan merawat bumi sepenuh hati. Begitu juga seharusnya dengan anda semua ” tutup Slamet Raharjo
Curug Sikopel..... tragis
Curug Sikopel. Begitu nama yang tertera di papan daftar destinasi wisata Kabupaten Banjarnegara. Airnya besar dan merupakan salah satu air terjun yang cukup tinggi di kelasnya dengan landscape alam di sekitarnya terlihat sangat indah. Dan begitu pertama kali melihat fotonya, rasa penasaran itu seketika muncul layaknya perasaan orang jatuh cinta ...... halah .......
![]() |
Photo Credit : AndriKharisma |
Dan itulah yang juga terjadi pada saya ..... hehehe......
Dengan sejuta harapan akan menemukan kepuasan saya mencari waktu senggang untuk bisa meluncur ke lokasi dengan sejuta bayangan indah.
Tapi .....
Sesampainya di lokasi parkir wisata, saya kaget sekaligus kecewa dengan apa yang saya lihat dan rasakan. Seketika saya langsung menjadi ilang feeling sodara sodara. Ambyarrrrr........
Kenapa ? sebab begitu masuk lokasi parkir kita akan menjumpai sebuah tanah lapang yang berukuran (mungkin) hampir sebesar lapangan voli dengan rumput yang tumbuh tinggi hampir selutut orang dewasa. Dan artinya lokasi ini tidak pernah dirawat dan dibersihkan oleh siapapun.......

Lanjut ke gerbang masuk, uang yang sudah dipersiapkan untuk tiket masuk sebesar Rp. 2000,- ternyata tetap utuh dan tidak terpakai. Sebab gerbangnya tanpa penjaga dan sudah berbentuk mengerikan. Semacam bangunan tidak terpakai selama belasan tahun hehehe....... Harus diakui, memang sebenarnya masih ada sisa sisa bekas taman yang dibuat sebelumnya. Namun karena tingginya rumput liar, taman itu lenyap...... ya lenyap sodara sodara......
Hanya berselang kurang lebih 20 langkah dari gerbang masuk, kita akan menemukan sebuah peninggalan papan nama penanda yang sudah mulai hilang,dilanjutkan dengan jalan beton yang semula mulus lambat laun berubah wujud menjadi jalan tanah yang licin dan sudah mulai terkikis air hujan ..... lho .........dan seketika itulah keinginan saya untuk turun ke bawah (area sekitar air terjun) menghilang........
Balik kanan lalu pulang......
Eh sempat motret sebentar ding. Pas pake lensa wide 15-45 sih hasilnya memuaskan, curugnya bisa dikatakan bagus dan berkarakter. Tapi pas pake tele 70-200 mm, tumpukan sampah di sekeliling lokasi air terjun sangat mengganggu pemandangan..........
So d*mn that right ?
Ada banyak pertanyaan yang kemudian muncul di benak saya..... kok nggak ada yang merawat lokasi itu ya ? yang bertanggung jawab siapa sih sebenernya ? apa nggak ada koordinasi yang baik antara dinas dengan warga sekitar ? dan pertanyaan pertanyaan yang lain yang ngga akan cukup kalau dituliskan disini .......pokoknya faakkkk .............
Terlepas dari itu semua di tengah era informasi yang begitu cepat ini, sudah seharusnya pihak pihak yang berkepentingan baik aktif maupun pasif ikut memikirkan "kelangsungan hidup" dan kelestarian tempat wisata alam semacam ini. Kita nggak bisa dong nyalahin pemerintah (dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) yang mengampu satu kabupaten dengan segala "pernak pernik permasalahannya". Mereka sudah terlalu sibuk man ...... jangan lagi beralasan pemerintah nggak memperhatikan kalian...... coba tanya pada diri masing masing, sudah semaksimal apa kalian bantu pemerintah disini ?? apa apaan itu ??
Mikir ......
Mungkin, ada baiknya kalau yang berperan aktif disini adalah warga masyarakat atau pokdarwis atau bahkan relawan setempat semampunya (tanpa mengharapkan hasil dulu tentunya) menata lagi, mempertahankannya dan kemudian mempromosikan lewat dunia maya biar tanpa biaya.
Kenapa dunia maya ? ya jelas dong..... sekarang lagi jamannya gitu.
Semakin kita gencar promosi, baik itu mengunggah foto foto terbaru, ngadain event juga disana, atau bahkan mengadakan lomba foto dengan menggandeng jagoan jagoan fotografi landscape yang jumlahnya banyak di banjarmegara ini, maka akan semakin naik lagi "rating" Curug Sikopel ini. Efeknya kemudian adalah wisatawan dateng lagi dan pengelolaan tempat ini hidup lagi........ dan terakhir warga sekitar akan dapat penghasilan lagi...... manis bukan ?
Yang jelas sih, sudah saatnya kita jangan saling menyalahkan pihak lain demi mencari kebenaran soal itu (dan tentu saja berlaku untuk permasalahan yang lainnya). Sikap bijak, keikhlasan dan perilaku ringan tangan kitalah yang akan menentukan posisi kita dimata orang lain. Sama halnya dengan apa yang terjadi pada Curug Sikopel (dan lokasi lokasi wisata lainnya) dimana sedang mengalami kondisi "sekarat" .....
Mari kita selamatkan mereka dengan cara yang kita bisa ....... plus keikhlasan dan sikap bijak kita masing masing pastinya ..........
1.27.2019
Posted by ngatmow